Selasa, 09 Oktober 2007

Antara Kejujuran,Kepatuhan,Dan Ketidakpatutan

Suatu ketika kepala sekolah pada saat sibuk2nya “melayani” siswa ujian nasional, sibuk kasak-kusuk untuk membuat “gerakan baik dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi sambil malu-malu”. Gerakan yg bertujuan membantu siswa yg ujian agar bisa menuliskan jawaban yg benar pada lembar jawab komputer (LJK) yg “kuno” itu.

Bahasan mengenai ujian nasional untuk sekolah di Indonesia tak akan pernah berhenti. Karena semua dalam masa pendewasaan. Jadi mesti banyak belajar, “berkesperimen” entah try and error apa nggak. Akibatnya banyak korban bergelimpangan… karena ketidaksiapan. Ngomong masalah ujian nasional gak akan habis dah… sulit untuk diluruskan…. kayak benang kusut. Saya tidak akan membicarakan keruwetan benang kusut ujian nasional. Yg saya bahas saat ini adalah potret disebuah sekolah terkait ketidakpatutan penyelenggaraan ujian nasional yg sering terjadi.

Ujian nasional dengan hanya 3 mata pelajaran sebagai penentu itu membuat banyak pihak yg kelimpungan. Buktinya banyak sekolah yg siswanya akhirnya dinyatakan tidak lulus, bahkan dibeberapa sekolah 100% tidak lulus. Anehnya dari yg dinyatakan tidak lulus itu terdapat siswa yg semestinya lulus.

Suatu ketika di suatu sekolah terjadi suatu gerakan seperti yg saya tuliskan di awal tulisan ini. Kepala sekolah yg sedang menjaga citra, menjaga kekokohan kedudukannya melakukan tindakan yg sangat tidak patut.

Semacam apa sajakah ketidak patutan itu atau dengan kata lain bagaimanakah modus eperandinya? Pertama, setelah LJK terkumpul semua di atas meja panitia ujian, maka dilakukan pengecekan. Yah bisa dijadikan alasan memang, kepala sekolah beserta “tim suksesnya” memperbaiki beberapa LJK berdasarkan jawaban dari guru dari tim sukses itu. Anehnya kontral yg semestinya dilakukan tidak dilakukan. Modus lain adalah dengan memberikan kode2 khusus kepada siswa yg sedang mengerjakan soal ujian. Hal ini didukung oleh pengawas ujian yg ternyata kebanyakan tidak mau perduli juga melihat tim sukses yg sedang bergerilya itu. Bisa jadi karena jamuan/suguhan serta janji tambahan uang saku untuk sang pengawas… beah.

Kemudian modus lain yg juga sempat saya jumpai adalah pe-mark-up-an secara berjamaah di level panitia tingkat kabupaten/kotamadya. Dalam hal ini yg berkepentingan adalah Kepala kantor departemen pendidikan, dan juga kepanitiann yg notabene adalah juga para kepala sekolah.

Suatu ketika saya turut serta dalam koreksi dan rekap data hasil ujian terdapat kejanggalan terhadap beberapa nilai siswa, kemudian saya konfirmasikan untuk mengecek kebenaran atas nilai siswa yg saat saya koreksi nilai tidak sebesar seperti saat saya rekap. Begitu saya tanyakan kepada ketua panitia tingkat kabupaten itu untuk melihat LJK untuk cek ulang dan memastikannya, ternyata jawabannya “Lembar Jawaban Siswa sudah dibakar”. Wah…gimana nih, saya berkesimpulan bahwa dengan jawaban itu mereka bermaksud menghilangkan jejak. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa saat itu…. yo wis.



Dari sedikit ulasan tersebut sangat banyak terjadi ketidakpatutan dan pembohongan dalam ujian/hasil ujian. Hal yg saya ulas tadi kemungkinan juga terjadi ditempat lain. Lebih2 di daerah yg jauh dari kontrol (daerah pelosok). Kepatuhan “tim sukses” baik di sekolah maupun dijenjang yg lebih tinggi jelas adalah kepatuhan yg mementing kesenangan pimpinan saja tanpa sedikitpun rasa idealis. Di duga pe-mark-up-an nilai juga terjadi di tingkat yg jauh lebih tinggi. Motif-nya jelas bermacam-macam. Mungkin inilah salah satu penyebab jeleknya kualitas pendidikan di negeri ini.



Bahkan suatu ketika (waktu itu jamannya ebtanas) pernah juga menjumpai bahwa skala nilai yg diberikan dari “pusat” untuk pelajaran matematika di smp sangat aneh. Entah teori penilaian mana yg dianut. Soal matematika jumlah 40 soal pilihan ganda (multiplechoice). Rentang nialinya 0-10. Logikanya jika benar 20 soal, maka nilainya adalah 5,00. Nyatanya tidak demikian tetapi lebih dari itu. Kemudian jika hanya benar 2 jawaban nilai matematikanya tenyata sudah mencapai angka 2 koma sekian. Padahal saat itu tidak dipakai rumusan jika jawaban salah dihukum dengan nilai minus, dan tidak juga dilakukan pembedaan soal sulit dan mudah. Jadi di situlah letak ketidakpatutan yg memang dilakukan secara sengaja secara sistematis mulai dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.

Satu hal lagi… mengapa sih LJK yg digunakan dari dulu sampai sekarang tetep begitu2 saja. Tidak ada inovasi sedikitpun. LJK yg model ujian nasional (dan juga yg dipakai SPMB) sangat rentan terjadinya kekeliruan dan ketidakakuratan pembacaan data. Yang padanya siswa dituntut ekstra hati2 (merugikan siswa donk) dalam menuliskan jawaban (dengan menghitamkan lingkaran). Itupun diwajibkan dengan menggunakan pensil khusus. (Jangan2 ada bisnis nih dengan pengusaha pensil 2B). Sudah lama ada teknologi alternatif dengan berbagai kelebihannya baik dari kemudahan buat si siswa dan efisiensi dana. Mengenai hal ini bisa di baca lebih lanjut tentang teknologi Digital Mark Reader.